PENGAKUAN ALAM MELAYU TERHADAP KHILAFAH ISLAMIYAH
Pengaruh Khalifah terhadap kehidupan politik alam Melayu sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Khilafah (Daulah Islamiyah). Kejayaan umat Islam mengalahkan Kerajaan Parsi (Iran) dan menduduki sebahagian besar wilayah Rom Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina, di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khattab telah menempatkan Daulah Islamiyah sebagai kuasa besar dunia sejak abad ke-7 M. Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), pemerintah di Nusantara –yang masih beragama Hindu sekalipun – mengakui kebesaran Khilafah.
Pengakuan terhadap kebesaran Khalifah dibuktikan dengan adanya 2 pucuk surat yang dikirim oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah………”
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid. Petikan surat tersebut adalah seperti berikut:
“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”
Selain itu, Farooqi menemui sebuah arkib Utsmani yang mengandungi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa oleh Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui pemimpin Utsmani sebagai Khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga mengandungi laporan tentang kegiatan askar Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah. Oleh itu, bantuan Utsmani amat diperlukan untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus di serang oleh Farangi (Portugis) kafir.
Sulayman Al-Qanuni wafat pada tahun 974 H/1566 M tetapi permintaan Aceh mendapat sokongan Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M), dengan mengeluarkan perintah kesultanan untuk menghantar sepasukan besar tentera ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah pakar senjata, tentera dan meriam. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama mana yang diperlukan oleh Sultan. Namun dalam perjalanan, hanya sebahagian armada besar ini yang sampai ke Aceh kerana dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H/1571 M. Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk pakar senjata, penembak, dan pakar teknikal. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Melaka pada tahun 1568 M.
Kehadiran armada tentera Kurtoglu Hizir Reis disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian digelar sebagai gabenor (wali) Aceh yang merupakan utusan rasmi khalifah yang ditempatkan di daerah tersebut. Ini menunjukkan bahawa hubungan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah bukanlah hanya hubungan persaudaraan melainkan hubungan politik kenegaraan. Adanya wali Turki di Aceh lebih mengisyaratkan bahawa Aceh merupakan sebahagian dari Khilafah Islamiyah.
Banyak institusi politik melayu di Nusantara mendapatkan gelaran sultan dari pemerintah tertentu di Timur Tengah. Pada tahun 1048H/1638 M, pemimpin Banten, Abd al-Qodir (berkuasa 1037-1063H/1626-1651) dianugerahkan gelaran sultan oleh Syarif Mekah sebagai hasil dari misi khusus yang dikirim olehnya untuk tujuan itu ke Tanah Suci. Sementara itu, kesultanan Aceh terkenal mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Turki Ustmani dan Haramain. Begitu juga Palembang (Sumatera) dan Makasar yang turut menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah. Pada ketika itu, para penguasa Mekah merupakan sebahagian dari Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki.
Dari penggunaan istilah, kesultanan Islam di Nusantara sering mengaitkan dirinya dan tidak terpisah dari kekhalifahan. Beberapa kitab Jawi klasik mencatatkan perkara ini. Hikayat Raja-raja Pasai (hal. 58, 61-62, 64), misalnya, memanggil nama rasmi kesultanan Samudra Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah Dar al-Islam juga digunakan di dalam kitab Undang-undang Pahang untuk memanggil kesultanan Pahang. Nur al-Din al-Raniri, dalam Bustan al-Salatin (misalnya, pada hlm. 31, 32, 47), menyebut kesultanan Aceh sebagai Dar al-Salam. Istilah ini juga digunakan di Pattani ketika pemimpin setempat, Paya Tu Naqpa, masuk Islam dan mengambil nama Sultan Ismail Shah Zill Allah fi-Alam yang bertakhta di negeri Pattani Dar al-Salam (Hikayat Patani, 1970:75).
Dalam ilmu politik Islam klasik, dunia ini terbahagi dua, yaitu Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam merupakan daerah yang diterapkan hukum Islam dan keamanannya ada pada tangan kaum Muslim. Sedangkan Dar al-Harb adalah lawan dari kata Dar al-Islam. Penggunaan istilah “Dar al-Islam” atau “Dar al-Salam” menunjukkan bahwa para pemerintah Melayu menerima konsep geopolitik Islam tentang pembahagian dua wilayah dunia itu. Konsep geopolitik ini semakin jelas ketika bangsa-bangsa Eropah —dimulai oleh “bangsa Peringgi” (Portugis) yang kemudian disusul bangsa-bangsa Eropah lainnya, khususnya Belanda dan Inggris— mulai bermaharajalela di kawasan Lautan India dan Selat Melaka (Sulalat al-Salatin, 1979:244-246). Mereka melakukan penjajahan fizikal dan menyebarkan agama Kristian.
Khilafah Turki Uthmaniyah, seperti disebutkan oleh orientalis, Hurgronje (1994, halaman 1631), bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum Muslim di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Para kedutaan Turki berjanji kepada umat Islam yang ada di Batavia untuk memperjuangkan pembebasan hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropah. Selain itu, Turki juga akan berusaha supaya seluruh kaum Muslim di Hindia Belanda bebas dari penindasan Belanda.
Lebih dari semua itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Mekah mengirim utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang 2 orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.
Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah menjadi Kadi dengan gelaran Qadi al-Malik al-Adil yang kosong kerana Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut. Beliau menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil. Abdul Rauf telah diminta oleh Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai rujukan (qaanun) penerapan syariat Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.
Berbagai kenyataan sejarah tadi menegaskan adanya pengakuan dan hubungan erat antara Alam Melayu dengan Khilafah Uthmaniyah. Bahkan, bukan hanya hubungan persaudaraan atau persahabatan tetapi adalah hubungan ‘kesatuan’ sebahagian dari Khilafah Utsmaniyah (Dar al-Islam).
PENJAGA PERJALANAN HAJI NUSANTARA
Kedudukan Khilafah Uthmaniyah sebagai khilafah Islam, terutama setelah ‘futuhat’(pembukaan) ke atas Istanbul (Konstantinopel), ibunegeri Rom Timur, pada 857 H/1453 M, telah menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.” Istilah “Rum” tersebar sebagai sebutan kepada Kesultanan Turki Utsmani. Mulai ketika itu, kekuatan politik dan budaya Rum (Turki Utsmani) tersebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke alam Melayu.
Kekuatan politik dan ketenteraan Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki kedudukan sebagai ‘khadimul haramayn’ (penjaga dua tanah haram, iaitu Mekah dan Madinah). Pada kedudukan ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh laluan haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kawalannya. Rombongan haji dapat menuju Mekah tanpa halangan atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis. Pada 954 H/1538 M, Sultan Sulayman I (berkuasa 928 H/1520-1566 M) mengirimkan armada yang kuat di bawah Gabenor Mesir, Khadim Sulayman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis untuk mengamankan perjalanan haji ke Jeddah.
Khilafah Uthmaniyah juga mengamankan laluan jamaah haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia pada 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya penglibatan Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Ini memberi sumbangan penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai kesan sampingan perjalanan ibadah haji. Pada saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan kekuatannya di kawasan Teluk Parsi, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.
Berkaitan dengan mengamankan laluan haji, Selman Reis (936H/1528M), laksamana Khilafah Uthmaniyah di Laut Merah, terus memantau pergerakan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah seperti berikut:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Melaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Oleh itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insyaAllah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran menyeluruh mereka tidak dapat dielakkan lagi, kerana satu benteng tidak boleh menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk penentangan yang bersepadu.”
Laporan ini memang cukup beralasan, kerana pada tahun 941 H/1534 M, sebuah skuadron Portugis yang diketuai oleh Diego da Silveira menghadang beberapa kapal dari Gujarat dan Aceh melalui Selat Bab el-Mandeb di Muara Laut Merah.
BENTUK-BENTUK HUBUNGAN
Portugis meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke Timur Tengah tetapi juga ke Samudera India. Raja Portugis Emanuel I secara terang-terangan menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristian, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”. Khilafah Uthmaniyah tidak berdiam diri. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Melaka digemparkan oleh berita tentang penghantaran armada ‘Utsmani’ untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir. Khabar ini tentu saja sangat menggembirakan umat Islam setempat.
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik takhta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia menyedari keperluan Aceh untuk meminta bantuan ketenteraan dari Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Melaka, tetapi juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Pasukan Khilafah 160 orang dan 200 orang askar dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Al-Kahhar selanjutnya mengerahkan untuk menakluk wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, anak saudara Pasya Utsmani di Kaherah.
Seorang sejarawan Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah Uthmaniyah dalam penaklukan terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Taib, perkara ini merupakan ungkapan perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah Uthmaniyah melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan akademi tentera di Aceh bernama ‘Askeri Beytul Mukaddes’ yang diubah menjadi ‘Askar Baitul Maqdis’ yang lebih sesuai dengan loghat Aceh. Maktab ketenteraan ini merupakan pusat yang melahirkan pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Demikianlah, hubungan Aceh dengan Khilafah yang sangat akrab. Aceh merupakan sebahagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk mengadap Khalifah. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Jun 1562 M, utusan Aceh itu tiba di Istanbul untuk meminta bantuan ketenteraan Uthmaniyah untuk menghadapi Portugis. Duta itu dapat mengelak dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia mendapat bantuan Khilafah, dan menolong Aceh membangkitkan askarnya sehingga dapat menakluk Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.
Hubungan Aceh dengan Khilafah terus berlanjutan, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti Al-Qahhar Ke2 iaitu Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) memperbaharui hubungan politik dan ketenteraan dengan Khilafah. Hal ini disahkan oleh sumber sejarah Portugis. Uskup Jorge de Lemos, setiausaha Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahawa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Utsmani untuk mendapatkan bantuan ketenteraan untuk melancarkan peperangan baru terhadap Portugis. Pemerintah Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan lagi hubungan politik dengan Turki. Bahkan, Khilafah Uthmaniyah dikatakan telah mengirim sebuah bintang kehormat kepada Sultan Aceh, dan mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Khilafah.
Hubungan akrab antara Acheh dan Khilafah Othmaniah telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Kapal-kapal atau perahu yang digunakan Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang laju dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau tongkang yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujerat. Dua daerah ini merupakan wilayah Khilafah Uthmaniyah. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 tan. Kapal-kapal besar dari Turki dilengkapi meriam dan senjata lain digunakan Aceh untuk menyerang penjajah Eropah yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara. Aceh tampil sebagai kekuatan besar yang amat ditakuti Portugis kerana diperkuat oleh pakar senjata dari Turki sebagai bantuan Khilafah kepada Aceh.
Menurut sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (1016-1046 H/1607-1636 M) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga buah kapal. Ia tiba di Istanbul setelah belayar dua setengah tahun melalui Tanjung Harapan. Ketika misi ini mereka kembali ke Aceh dengan bantuan senjata, pakar tentera, dan sepucuk surat tentang persahabatan Uthmani dan hubungannya dengan Aceh. 12 pakar tentera itu dipanggil sebagai pahlawan di Aceh. Mereka juga dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda, tidak hanya dalam membina benteng yang kukuh di Banda Aceh, tetapi juga untuk membina istana kesultanan.
Kesan kejayaan Khilafah Utsmaniyah menghalang Portugis di Lautan Hindi tersebut amat besar. Diantaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan untuk menunaikan haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropah di pasar Aleppo (Syria), Kaherah, dan Istanbul; serta kesinambungan laluan perdagangan antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah.
Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Uthmaniyah yang berpusat di Turki nampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahawa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Mekah. Sejak itu, dia dikenali sebagai Sultan Marhum dan semenjak itu juga nama sultan disebut dalam khutbah Jumaat. Menurut sumber setempat, penggunaan gelaran ‘sultan’ ini berlaku setelah dipersetujui Khilafah Uthmaniyah (ada juga yang mengatakan dari penguasa Mekah). Syeikh Wahid mengirim khabar kepada Khalifah di Turki. Realiti ini menunjukkan Mekah berada dalam kepemimpinan Khilafah, dan Buton memiliki hubungan ‘struktur’ secara tidak kuat dengan Khilafah Turki Utsmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Mekah.
Sementara itu, di wilayah Sumatera Barat, Pemerintah Alam Minangkabau yang memanggil dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercayai adalah adik lelaki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahawa pemerintah pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut. Ini memberikan maklumat bahawa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Uthmaniyah.
Di samping adanya hubungan langsung dengan Khilafah Uthmaniyah, ada beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, misalnya kesultanan Ternate. Pada tahun 1570an, ketika perang Soya-soya melawan Portugis, Sultan Ternate, Baabullah, dibantu oleh para sangaji dari Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada perahu dan Demak dengan askar Jawa. Begitu juga Aceh dengan armada laut yang perkasa dan kekuatan 30,000 buah kapal perang telah menyekat pelabuhan Sumatera dan menyekat pengiriman bahan makanan dan peluru Portugis melalui India dan Selat Melaka. Musuh Ternate adalah musuh Demak.
Berdasarkan beberapa hakikat ini jelas bahawa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah. Bentuk hubungan tersebut berbentuk perdagangan, ketenteraan, politik, dakwah, dan kekuasaan.
SAMBUTAN (Reaksi – Fikrul) UMAT ISLAM DI ALAM MELAYU TERHADAP PENYATUAN UMAT
Semasa Khilafah Islamiyah dalam kesusahan, di mana beberapa wilayahnya mula diduduki oleh penjajah, muncul usaha untuk mengukuhkan kesatuan Islam yang diterajui oleh Sultan Abdul Hamid II. Beliau mengatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekati dalam ikatan yang amat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.” Inilah gagasan yang dikenali sebagai Pan-Islamisme. Usaha menguatkan kesatuan Islam sampai ke Nusantara.
Snouck Hourgronje, penasihat Belanda, sentiasa memberikan maklumat kepada pemerintah Hindia Belanda bahawa ada usaha gerakan Pan-Islamisme untuk memujuk raja-raja dan pembesar-pembesar Hindia Belanda (kaum Muslim) untuk datang ke Istana Sultan Abdul Hamid II di Istanbul. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai di Batavia, mengikut ulasan Snouck, adalah untuk mendapatkan persamaan kedudukan orang-orang Arab dan kemudian untuk semua orang Islam sederajat dengan orang-orang Eropah. Jika tujuan ini sudah tercapai maka orang-orang Islam tidak lagi sukar mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari orang Eropah, bahkan boleh mengalahkan mereka sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda amat risau bila kaum Muslim tahu bahawa Sultan Abdul Hamid II menyediakan biasiswa untuk pemuda Islam. Atas pembiayaan Sultan Abdul Hamid II, mereka masuk ke sekolah-sekolah yang tinggi untuk menerima pendidikan ilmiah dan mendapat kesedaran yang mendalam tentang kelebihan setiap muslim atas orang-orang kafir. Kesedaran dan kehinaan yang mendalam yang tidak harus mereka terima dan membiarkan diri mereka diperintah oleh orang kafir. Jika mereka telah menyelesaikan pelajaran dan telah menamatkan ibadah haji ke Mekah, mereka diharapkan dapat berperanan mengembangkan pemikiran Islam di daerah mereka.
Usaha pengukuhan kesatuan ini terus dilakukan. Pada tahun 1904 telah ada 7 hingga 8 konsul (utusan) telah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara kegiatan para duta ini adalah mengedar mushaf al-Quran atas nama sultan, dan karya-karya teologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istanbul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”. Istilah Raja di sini sebenarnya adalah kata al-Malik yang bererti pemimpin, dan semua orang Islam mengantikan istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan pengisytiharan Khalifah bahawa beliau adalah pemerintah umat Islam sedunia. Hal ini menunjukkan bahawa khilafah Uthmaniyah terus berusaha untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai tindakbalas terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Uthmaniyah ini, terdapat beberapa pertubuhan pergerakan Islam di Alam Melayu yang mendokong gerakan tersebut di Hindia Belanda. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara pertubuhan itu adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Julai 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Nusantara dimuatkan dalam akhbar dan majalah di Istanbul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II di Istanbul pernah mengirim utusannya ke Indonesia, Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari kumpulan tersebut untuk mengkaji keadaan umat Islam di Indonesia. Akibatnya, pemerintah penjajah Hindia Belanda melarang orang-orang Arab mengunjungi beberapa daerah tertentu.
Pertubuhan pergerakan Islam lain yang muncul sebagai sambutan positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Bendera Khilafah Uthmaniyah dikibarkan pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol perpaduan sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan. Ketika itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Uthmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan atasnama khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa. Di antara seruan tersebut adalah:
“Wahai saudara seiman, perhatikanlah berapa negara lain menjajah dunia Islam. India yang luas dan berpenduduk 100 juta muslim dijajah oleh sekelompok kecil musuh dari orang-orang kafir Inggeris. 40 juta muslim Jawa dijajah oleh Belanda. Maghribi, Algeria, Tunisa, Mesir dan Sudan menderita dibawah cengkaman musuh Tuhan dan RasulNya. Juga Kuzestan, berada di bawah tekanan penjajah musuh iman. Parsi dipecah-belah. Bahkan takhta khilafah pun, oleh musuh-musuh Tuhan selalu ditentang dengan segala macam cara”.
Hakikat ini memberikan gambaran bagaimana Khilafah Uthmaniyah member dokongan dan bantuan kepada kaum Muslim Indonesia serta memandangnya sebagai satu tubuh, bahkan menyeru untuk membebaskan diri dari penjajah musuh iman. Dalam hal ini kaum Muslim memberikan sambutan positif terhadap usaha pengukuhan kesatuan umat Islam sedunia tersebut.
[Dr. Sallehuddin Ibrahim, Ikatan Intelektual Nusantara, [IKIN]
0 comments:
Post a Comment